dpwpkbjateng.id – Semarang – Pemerintah memperketat impor pakaian bekas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 memperketat pelarangan jual-beli pakaian bekas impor, seperti yang telah diatur dalam Permendag Nomor 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Hal tersebut mendapat tanggapan dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, Ulil Albab. Ia menilai langkah yang digagas merupakan kebijakan yang tepat dan harus dijalankankan untuk menjaga keberlangsungan industri tekstil dan garmen dalam negeri, sekaligus melindungi pasar lokal dari serbuan barang bekas murah asal luar negeri.
Ulil, yang juga Wakil Ketua Fraksi PKB DPRD Jateng ini menegaskan bahwa masuknya pakaian bekas dari luar selama ini menimbulkan dampak luas mulai dari pukulan terhadap industri konveksi dan garmen lokal, hingga ancaman bagi kesehatan dan lingkungan masyarakat.
“Saya mendukung penuh langkah pemerintah memperketat impor pakaian bekas. Ini kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri dan melindungi jutaan pekerja di sektor garmen, terutama di Jawa Tengah,” ujar Ulil di Semarang, Selasa (28/10) kepada pemberitaan Fraski PKB.
Menurutnya, kebijakan pengetatan impor pakaian bekas ini sangat penting untuk melindungi industri tekstil, garmen dan UMKM lokal dari serbuan produk impor yang lebih murah. Selain itu, langkah ini juga bertujuan menjaga kesehatan masyarakat karena barang bekas dari luar negeri belum tentu terjamin kebersihannya.
“Dengan memperkuat industri dalam negeri, penyerapan tenaga kerja bisa meningkat, produksi dalam negeri bertambah, dan pendapatan negara pun ikut terdongkrak melalui peredaran produk lokal,” tambahnya.
Ulil menjelaskan, Jawa Tengah selama ini dikenal sebagai salah satu jantung industri garmen nasional. Daerah seperti Sragen, Solo, Sukoharjo, Jepara, Pekalongan, Kudus, Tegal, dan Kabupaten Semarang serta daerah lainnya merupakan sentra penting dalam produksi tekstil dan konveksi di Indonesia. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah mencatat, terdapat lebih dari 600 perusahaan garmen dan tekstil yang beroperasi di wilayah ini, dengan ratusan ribu tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor tersebut.
Arus besar pakaian bekas impor yang tidak terkendali, lanjut Ulil, berpotensi merusak pasar domestik. Produk murah dari luar negeri menekan harga buatan lokal sehingga banyak pelaku usaha kesulitan bersaing.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, pabrik-pabrik di Solo, Pekalongan, Jepara dan daerah lainnya bisa bisa mengurangi produksi bahkan merumahkan karyawan. Ini ancaman serius bagi ekonomi daerah,” tegas anggota Komisi C DPRD Jateng ini.
Selain persoalan ekonomi, Ulil menyoroti bahaya kesehatan dan lingkungan dari pakaian bekas impor yang tidak steril.
“Masalah pakaian bekas ini bukan hanya soal harga murah. Ada risiko kesehatan yang terbawa dari negara asal dan limbah tekstil yang perlu jadi perhatian bersama,” ujarnya.
Politisi kelahiran Jepara ini menilai, kebijakan ini perlu dukungan lintas kementerian, terutama Kementerian Perindustrian, Kementrian Keuangan dan Kementerian Perdagangan.
“Langkah pengetatan ini harus berjalan seiring dengan kebijakan industri dan perdagangan yang saling menguatkan. Kementerian Perindustrian perlu memperkuat kapasitas produksi dalam negeri, sementara Kementerian Perdagangan harus memperketat pengawasan di jalur impor,” katanya.
Ia juga mendorong perhatian pemerintah terhadap pelaku industri garmen kecil dan menengah. Dengan pembatasan impor pakaian bekas, peluang produk dalam negeri untuk menguasai pasar terbuka lebar, asalkan disertai pelatihan tenaga kerja, kemudahan permodalan, dan promosi produk lokal.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan agar seluruh pihak mendukung langkah pemerintah ini.
“Jangan melihatnya sebagai larangan impor semata, tapi sebagai upaya menyelamatkan masa depan industri dan tenaga kerja di negeri sendiri. Kalau pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha berjalan searah, saya yakin industri garmen kita akan kembali berjaya,” pungkas Ulil.
(Irfan Rosyadi)
